Minggu, 01 Juli 2012

tugas dari psikologi makalah tentang LANSIA (Lanjut Usia)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan jumlah lansia terjadi baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Gejala menuanya struktur penduduk (ageing population) juga terjadi di Indonesia. Jika pada tahun 1990 jumlah lansia hanya sekitar 11 juta maka pada tahun 2020 jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 29 juta, dengan peningkatan dari 6,3% menjadi 11,4% dari total populasi.
Proses penuaan akan berkaitan dengan proses degeneratif tubuh dengan segala penyakit yang terkait, termasuk gangguan mobilitas dan alat gerak. Dengan demikian, golongan lansia ini akan memberikan masalah kesehatan khusus yang memerlukan bantuan pelayanan kesehatan tersendiri. Dengan usia lanjut dan sisa kehidupan yang ada, kehidupan lansia terisi dengan 40% masalah kesehatan.

1.2 Tujuan
• Untuk mengetahui pengertian lansia
• Untuk mengetahui perubahan-perubahan lansia
• Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi lansia





BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Lansia
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
2.2 Batasan Lansia
Ada beberapa pendapat mengenai batasan umur lanjut usia yaitu:
a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
Lanjut usia meliputi : usia pertengahan yakni kelompok usia 46 sampai 59 tahun. Lanjut usia (Elderly) yakni antara usia 60-74 tahun. Usia lanjut tua (Old) yaitu antara 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (Very Old) yaitu usia diatas 90 tahun.
b. Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 1998
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.
c. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut :
Usia dewasa muda (Elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh (Middle year) atau maturitas : 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (Geriatric Age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 75-80 tahun (Old) dan lebih dari 80 tahun (Very Old).
2.3. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2000) yaitu :
a. Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia diakibatkan oleh terjadinya proses degeneratif yang meliputi :
1) Sel terjadi perubahan menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya, serta berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya intraseluler.
2) Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak 10-20, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya syaraf panca indera yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, menurunnya sensasi perasa dan penciuman sehingga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan misalnya glukoma dan sebagainya.
3) Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau stress. Hilangnya kemampuan pendengaran meningkat sesuai dengan proses penuaan dan hal yang seringkali merupakan keadaan potensial yang dapat disembuhkan dan berkaitan dengan efek-efek kolateral seperti komunikasi yang buruk dengan pemberi perawatan, isolasi, paranoia dan penyimpangan fungsional.
4) Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi katarak yang menyebabkan gangguan penglihatan, hilangnya daya akomodasi, meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, menurunnya lapang pandang sehingga luas pandangnya berkurang luas.
5) Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume kehilangan elastisitas pembuluh darah karena kurangnya efektivitas pembuluh darah feriver untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk, duduk keberdiri bisa mengakibatkan tekanan darah menurun menjadi mmHg yang mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resitensi dari pembuluh darah perifer.
b. Perubahan mental
Meliputi perubahan dalam memori secara umum. Gejala-gejala memori cocok dengan keadaan yang disebut pikun tua, akhir-akhir ini lebih cenderung disebut kerusakan memori berkenaan dengan usia atau penurunan kognitif berkenaan dengan proses menua. Pelupa merupakan keluhan yang sering dikemukakan oleh manula, keluhan ini di anggap lumrah dan biasa oleh lansia, keluhan ini didasari oleh fakta dari peneliti cross sectional dan logitudional didapat bahwa kebanyakan, namun tidak semua lansia mengalami gangguan memori, terutama setelah usia 70 tahun, serta perubahan IQ (intelegentia quotient) tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor terjadi perubahan daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.
c. Perubahan-perubahan psikososial
Meliputi pensiun, nilai seseoarang sering di ukur oleh produktivitasnya dan identitas di kaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seorang pension (purna tugas) ia akan mengalami kehilangan financial, status, teman dan pekerjaan. Merasakan sadar akan kematian, semakin lanjut usia biasanya mereka menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan akhirat dan lebih mementingkan kematian itu sendiri serta kematian dirinya, kondisi seperti ini benar khususnya bagi orang yang kondisi fisik dan mentalnya semakin memburuk, pada waktu kesehatannya memburuk mereka cenderung untuk berkonsentrasi pada masalah kematian dan mulai dipengaruhi oleh perasaan seperti itu, hal ini secara langsung bertentangan dengan pendapat orang lebih muda, dimana kematian mereka tampaknya masih jauh dan karena itu mereka kurang memikirkan kematian.
d. Perubahan psikologis
Masalah psikologis yang dialami oleh lansia ini pertama kali mengenai sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang mereka hadapi, antara lain penurunan badaniah atau dalam kebingungan untuk memikirkannya. Dalam hal ini di kenal apa yang di sebutdisengagement theory, yang berarti ada penarikan diri dari masyarakat dan diri pribadinya satu sama lain. Pemisahan diri hanya dilakukan baru dilaksanakan hanya pada masa-masa akhir kehidupan lansia saja. Pada lansia yang realistik dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Karena telah lanjut usia mereka sering dianggap terlalu lamban, dengan gaya reaksi yang lamban dan kesiapan dan kecepatan bertindak dan berfikir yang menurun. Daya ingat mereka memang banyak yang menurun dari lupa sampai pikun dan demensia, biasanya mereka masih ingat betul peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi, malahan lupa mengenal hal-hal yang baru terjadi.
2.4 Masalah-masalah yang di Hadapi pada Lansia
Pada umumnya berbeda dengan pada dewasa muda, karena masalah pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat proses menua. Proses ini menyebabkan menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap penyakit dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.
Menurut Robert Kane dan Joseph Ouslander , penulis buku “ Essentials of Clinical Geriatrics” , Permasalahan Lansia sering disebut dengan istilah 14 I.
1. Immobility (kurang bergerak): gangguan fisik, jiwa, dan faktor lingkungan dapat menyebabkan lansia kurang bergerak. Penyebab yang paling sering adalah gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf, dan penyakit jantung dan pembuluh darah.
2. Instability (berdiri dan berjalan tidak stabil dan mudah jatuh). Akibat jatuh pada lansia pada umumnya adalah kerusakan bahagian tertentu dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit, seperti patah tulang, cedera pada kepala. Penyebab instabilitas dapat berupa faktor intrinsic, hal-hal yang berkaitan dengan keadaan fisik tubuh penderita karena proses menua; dan faktor ekstrinsik yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obat tertentu dan faktor lingkungan.
3. Incontinence (beser buang air senil). Keluarnya air seni tanpa disadari, semakin banyak dan sering, mengakibatkan masalah kesehatan atau lingkungan, khususnya lingkungan keluarga. Untuk menghindari ini, lansia sering mengurangi minum. Upaya ini justru menyebabkan lansia kekurangan cairan tubuh dan juga berkurangnya kemampuan kandung kemih dalam menjalankan fungsinya.
4. Intellectual impairment (gangguan intelektual/dementia). Gangguan intelektual merupakan kumpulan gejala klinik yang meliputi gangguan fungsi intelektual dan ingatan yang cukup berat.
5. Infection (infeksi). Kekurangan gizi, kekebalan tubuh:yang menurun adalah penyebab utama lansia mudah mendapat penyakit infeksi. Selain itu berkurangnya fungsi berbagai organ tubuh, terdapatnya beberapa penyakit sekaligus (komorbiditas) yang menyebabkan daya tahan tubuh yang sangat berkurang, faktor lingkungan, jumlah dan keganasan kuman akan mempermudah tubuh mengalami infeksi.
6. Impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, daya pulih, dan kulit). Akibat proses menua semua fungsi pancaindera dan otak berkurang. Demikian juga gangguan pada saraf dan otot-otot yang digunakan untuk berbicara dapat menyebabkn terganggunya komunikasi, daya pulih terhadap penyakitpun berkurang sedangkan kulit menjadi lebih kering, rapuh dan mudah rusak.
7. Impaction (sulit buang air besar). Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya ini adalah kurangnya gerakan fisik, makanan yang kurang mengandung serat, kurang minum, akibat obat-obat tertentu dan lain-lain. Akibatnya, pengosongan isi usus menjadi sulit terjadi atau isi usus menjadi tertahan. Pada konstipasi, kotoran di dalam usus menjadi keras dan kering, dan pada keadaan yang berat dapat terjadi akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus disertai rasa sakit pada daerah perut.
8. Isolation (depresi), perubahan status sosial, bertambahnya penyakit dan berkurangnya kemandirian sosial serta perubahan-perubahan akibat proses menua menjadi salah satu pemicu munculnya depresi pada lansia.
9. Inanition (kurang gizi ), kekurangan gizi dapat disebabkan ketidaktahuan untuk memilih makanan yang bergizi. Terutama karena isolasi sosial (terasing dari masyarakat), gangguan pancaindera, kemiskinan, hidup seorang diri.
10. Impecunity (tidak punya uang), dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan fisik dan mental akan berkurang secara perlahan-lahan, yang menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau menyelesaikan pekerjaannya sehingga tidak dapat memperoleh penghasilan.
11. Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), masalah yang sering terjadi adalah menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan obat yang banyak, apalagi penggunakan obat dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit akibat pemakaian berbagai macam obat.
12. Insomnia (gangguan tidur), berbagai keluhan gangguan tidur yang sering dilaporkan oleh para lansia, yakni sulit tidur, tidur tidak nyenyak, tidurnya banyak mimpi mudah terbangun, jika terbangun sukar tidur kembali, terbangun dinihari, lesu setelah bangun dipagi hari.
13. Immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), daya tahan tubuh yang menurun selain disebabkan karena proses menua, tetapi dapat pula karena berbagai keadaan seperti penyakit yang sudah lama atau baru diderita. Selain itu dapat juga disebabkan penggunaan berbagai obat, keadaan gizi yang kurang, penurunan fungsi organ-organ tubuh dan lain-lain.
14. Impotence (impotensi). merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan sanggama yang memuaskan.
Penyebab disfungsi ereksi pada lansia adalah hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin sebagai adanya kekakuan pada dinding pembuluh darah (arteriosklerosis) baik karena proses menua maupun penyakit, dan juga berkurangnya sel-sel otot polos yang terdapat pada alat kelamin serta berkurangnya kepekaan dari alat kelamin pria terhadap rangsangan.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut.
Pada umumnya berbeda dengan pada dewasa muda, karena masalah pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat proses menua. Proses ini menyebabkan menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap penyakit dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.
3.2 Saran
Sebaiknya lansia mendekatkan diri kepada sang pencipta, misal; shalat fardu dan shalat sunnah, mengaji, dan lain-lain. Jangan terlalu banyak pikiran, istirahat yang cukup, jangan terlalu sering minum kopi atau minuman yang mengandung alkohol, hindari merokok, makan-makan yang sehat, olahraga sehat. Hidup sehat pada saat lansia pasti menyenangkan.



MAKALAH METABOLISME ASAM NUKLEAT, meskipun aku tidak mengerti..

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam organisme, termasuk yang terjadi di tingkat selular. Secara umum, metabolisme memiliki dua arah lintasan reaksi kimia organik. Sedangkan untuk katabolisme itu sendiri yaitu reaksi yang mengurai molekul senyawa organik untuk mendapatkan energi.Dan anabolisme merupakan reaksi yang merangkai senyawa organik dari molekul-molekul tertentu, untuk diserap oleh sel tubuh.
Eksperimen terkontrol atas metabolisme manusia pertama kali diterbitkan oleh Santorio pada tahun 1614 di dalam bukunya, “Ars de statica medecina” yang membuatnya terkenal di Eropa. Dia mendeskripsikan rangkaian percobaan yang dilakukannya, yang melibatkan penimbangan dirinya sendiri pada sebuah kursi yang digantung pada sebuah timbangan besar sebelum dan sesudah makan, tidur, bekerja, berpuasa makan atau minum, dan buang air besar. Dia menemukan bahwa bagian terbesar makanan yang dimakannnya hilang dari tubuh melalui “perspiratio insensibilis” (mungkin dapat diterjemahkan sebagai keringatan yang tidak tampak). Secara umum, metabolisme memiliki dua arah lintasan reaksi kimia organik yaitu:
1. Katabolisme yaitu reaksi yang mengurai senyawa molekul organik untuk mendapatkan energi.
2. Anabolisme yaitu reaksi yang merangkai senyawa organik dari molekul-molekul tertentu, untuk diserap oleh sel tubuh.
Kedua arah lintasan metabolisime sangat diperlukan oleh setiap organisme untuk dapat bertahan hidup.Arah lintasan metabolisme ditentukan oleh suatu senyawa yang disebut sebagai hormon, dan dipercepat (dikatalisis) oleh enzim.Pada senyawa organik, penentu arah reaksi kimia disebut promoter dan penentu mempercepatan reaksi kimia disebut katalis.
Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan organisme karena di dalamnya tersimpan informasi genetik.Asam nukleat sering dinamakan juga polinukleotida karena tersusun dari sejumlah molekul nukleotida sebagai monomernya.Tiap nukleotida mempunyai struktur yang terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa, dan basa nitrogen atau basa nukleotida (basa N).
Asam nukleat adalah makromolekul biokimia yang kompleks, berbobot molekul tinggi, dan tersusun atas rantai nukleotida yang mengandung informasi genetik.Asam nukleat yang paling umum adalah Asam deoksiribonukleat (DNA) and Asam ribonukleat (RNA).Asam nukleat ditemukan pada semua sel hidup serta pada virus.
Asam nukleat dinamai demikian karena keberadaan umumnya di dalam inti (nukleus) sel. Asam nukleat merupakan biopolimer, dan monomer penyusunnya adalah nukleotida.Setiap nukleotida terdiri dari tiga komponen, yaitu sebuah basa nitrogen heterosiklik (purin atau pirimidin), sebuah gula pentosa, dan sebuah gugus fosfat.Jenis asam nukleat dibedakan oleh jenis gula yang terdapat pada rantai asam nukleat tersebut (misalnya, DNA atau asam deoksiribonukleat mengandung 2-deoksiribosa). Selain itu, basa nitrogen yang ditemukan pada kedua jenis asam nukleat tersebut memiliki perbedaan: adenin, sitosin, dan guanin dapat ditemukan pada RNA maupun DNA, sedangkan timin dapat ditemukan hanya pada DNA dan urasil dapat ditemukan hanya pada RNA.
Struktur dasar RNA mirip dengan DNA.RNA merupakan polimer yang tersusun dari sejumlah nukleotida.Setiap nukleotida memiliki satu gugus fosfat, satu gugus pentosa, dan satu gugus basa nitrogen (basa N). Polimer tersusun dari ikatan berselang-seling antara gugus fosfat dari satu nukleotida dengan gugus pentosa dari nukleotida yang lain.
Metabolisme meliputi proses sintesis dan proses penguraian senyawa atau komponen dalam sel hidup. Proses sintesis itu disebut anabolisme dan proses penguraian disebut katabolisme. Semua reaksi metabolism dikatalisis oleh enzim, termasuk reaksi yang sederhana seperti penguraian asamkarbonat menjadi air dan karbondioksida, proses pemasukan dan pengeluaran zat kimia dari dan ke dalam sel melalui membran proses biosintesis protein yang panjang dan rumit atau pun proses penguraian bahan makanan dalam sistem pencernaan mulai dari mulut, lambung, usus, dan penyerapan hasil penguraian tersebut melalui dinding usus, serta penyerapannya keseluruh bagian tubuh yang memerlukannya, begitu juga dengan proses sintesis dan penguraian berlangsung dalam berbagai jalur metabolisme.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui proses metabolisme dan katabolisme protein dan asam nukleat dalam tubuh.




BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Metabolisme Asam Nukleat
Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan organisme karena di dalamnya tersimpan informasi genetik. Asam nukleat sering dinamakan juga polinukleotida karena tersusun dari sejumlah molekul nukleotida sebagai monomernya. Tiap nukleotida mempunyai struktur yang terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa, dan basa nitrogen atau basa nukleotida (basa N). Ada dua macam asam nukleat, yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Dilihat dari strukturnya, perbedaan di antara kedua macam asam nukleat ini terutama terletak pada komponen gula pentosanya.Pada RNA gula pentosanya adalah ribosa, sedangkan pada DNA gula pentosanya mengalami kehilangan satu atom O pada posisi C nomor 2’ sehingga dinamakan gula 2’-deoksiribosa.
Perbedaan struktur lainnya antara DNA dan RNA adalah pada basa N-nya. Basa N, baik pada DNA maupun pada RNA, mempunyai struktur berupa cincin aromatik heterosiklik (mengandung C dan N) dan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu purin dan pirimidin. Basa purin mempunyai dua buah cincin (bisiklik), sedangkan basa pirimidin hanya mempunyai satu cincin (monosiklik). Pada DNA, dan juga RNA, purin terdiri atas adenin (A) dan guanin (G). Akan tetapi, untuk pirimidin ada perbedaan antara DNA dan RNA.Kalau pada DNA basa pirimidin terdiri atas sitosin (C) dan timin (T), pada RNA tidak ada timin dan sebagai gantinya terdapat urasil (U).Timin berbeda dengan urasil hanya karena adanya gugus metil pada posisi nomor 5 sehingga timin dapat juga dikatakan sebagai 5-metilurasil.

2.2 Komponen-komponen Asam Nukleat
a). Gugus fosfat
b). Gula pentosa
c). Basa N
Di antara ketiga komponen monomer asam nukleat tersebut di atas, hanya basa N-lah yang memungkinkan terjadinya variasi.Pada kenyataannya memang urutan (sekuens) basa N pada suatu molekul asam nukleat merupakan penentu bagi spesifisitasnya. Dengan perkataan lain, identifikasi asam nukleat dilakukan berdasarkan atas urutan basa N-nya sehingga secara skema kita bisa menggambarkan suatu molekul asam nukleat hanya dengan menuliskan urutan basanya saja.
Di atas telah disinggung bahwa asam nukleat tersusun dari monomer-monomer berupa nukleotida, yang masing-masing terdiri atas sebuah gugus fosfat, sebuah gula pentosa, dan sebuah basa N. Dengan demikian, setiap nukleotida pada asam nukleat dapat dilihat sebagai nukleosida monofosfat. Namun, pengertian nukleotida secara umum sebenarnya adalah nukleosida dengan sebuah atau lebih gugus fosfat.Sebagai contoh, molekul ATP (adenosin trifosfat) adalah nukleotida yang merupakan nukleosida dengan tiga gugus fosfat.
Jika gula pentosanya adalah ribosa seperti halnya pada RNA, maka nukleosidanya dapat berupa adenosin, guanosin, sitidin, dan uridin. Begitu pula, nukleotidanya akan ada empat macam, yaitu adenosin monofosfat, guanosin monofosfat, sitidin monofosfat, dan uridin monofosfat. Sementara itu, jika gula pentosanya adalah deoksiribosa seperti halnya pada DNA, maka (2’-deoksiribo)nukleosidanya terdiri atas deoksiadenosin, deoksiguanosin, deoksisitidin, dan deoksitimidin.
Peran penting RNA terletak pada fungsinya sebagai perantara antara DNA dan protein dalam proses ekspresi genetik karena ini berlaku untuk semua organisme hidup. Dalam peran ini, RNA diproduksi sebagai salinan kode urutan basa nitrogen DNA dalam proses transkripsi. Kode urutan basa ini tersusun dalam bentuk 'triplet', tiga urutan basa N, yang dikenal dengan nama kodon. Setiap kodon berelasi dengan satu asam amino (atau kode untuk berhenti), monomer yang menyusun protein.Lihat ekspresi genetic untuk keterangan lebih lanjut. Penelitian mutakhir atas fungsi RNA menunjukkan bukti yang mendukung atas teori 'dunia RNA', yang menyatakan bahwa pada awal proses evolusi, RNA merupakan bahan genetik universal sebelum organisme hidup memakai DNA.

2.3 Sifat-sifat Fisika-Kimia Asam Nukleat
Di bawah ini akan dibicarakan sekilas beberapa sifat fisika-kimia asam nukleat. Sifat-sifat tersebut adalah stabilitas asam nukleat, pengaruh asam, pengaruh alkali, denaturasi kimia, viskositas, dan kerapatan apung.

a. Stabilitas asam nukleat
Ketika kita melihat struktur tangga berpilin molekul DNA atau pun struktur sekunder RNA, sepintas akan nampak bahwa struktur tersebut menjadi stabil akibat adanya ikatan hidrogen di antara basa-basa yang berpasangan. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian.Ikatan hidrogen di antara pasangan-pasangan basa hanya akan sama kuatnya dengan ikatan hidrogen antara basa dan molekul air apabila DNA berada dalam bentuk rantai tunggal. Jadi, ikatan hidrogen jelas tidak berpengaruh terhadap stabilitas struktur asam nukleat, tetapi sekedar menentukan spesifitas perpasangan basa.Penentu stabilitas struktur asam nukleat terletak pada interaksi penempatan (stacking interactions) antara pasangan-pasangan basa.Permukaan basa yang bersifat hidrofobik menyebabkan molekul-molekul air dikeluarkan dari sela-sela perpasangan basa sehingga perpasangan tersebut menjadi kuat.
b. Pengaruh asam
Di dalam asam pekat dan suhu tinggi, misalnya HClO4 dengan suhu lebih dari 100ºC, asam nukleat akan mengalami hidrolisis sempurna menjadi komponen-komponennya. Namun, di dalam asam mineral yang lebih encer, hanya ikatan glikosidik antara gula dan basa purin saja yang putus sehingga asam nukleat dikatakan bersifat apurinik.
c. Pengaruh alkali
Pengaruh alkali terhadap asam nukleat mengakibatkan terjadinya perubahan status tautomerik basa. Sebagai contoh, peningkatan pH akan menyebabkan perubahan struktur guanin dari bentuk keto menjadi bentuk enolat karena molekul tersebut kehilangan sebuah proton. Selanjutnya, perubahan ini akan menyebabkan terputusnya sejumlah ikatan hidrogen sehingga pada akhirnya rantai ganda DNA mengalami denaturasi. Hal yang sama terjadi pula pada RNA. Bahkan pada pH netral sekalipun, RNA jauh lebih rentan terhadap hidrolisis bila dibadingkan dengan DNA karena adanya gugus OH pada atom C nomor 2 di dalam gula ribosanya.
d. Denaturasi kimia
Sejumlah bahan kimia diketahui dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat pada pH netral. Contoh yang paling dikenal adalah urea (CO(NH2)2) dan formamid (COHNH2). Pada konsentrasi yang relatif tinggi, senyawa-senyawa tersebut dapat merusak ikatan hidrogen.Artinya, stabilitas struktur sekunder asam nukleat menjadi berkurang dan rantai ganda mengalami denaturasi.
e. Viskositas
DNA kromosom dikatakan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi karena diameternya hanya sekitar 2 nm, tetapi panjangnya dapat mencapai beberapa sentimeter.Dengan demikian, DNA tersebut berbentuk tipis memanjang. Selain itu, DNA merupakan molekul yang relatif kaku sehingga larutan DNA akan mempunyai viskositas yang tinggi. Karena sifatnya itulah molekul DNA menjadi sangat rentan terhadap fragmentasi fisik.Hal ini menimbulkan masalah tersendiri ketika kita hendak melakukan isolasi DNA yang utuh.
f. Kerapatan apung
Analisis dan pemurnian DNA dapat dilakukan sesuai dengan kerapatan apung (bouyant densitynya). Di dalam larutan yang mengandung garam pekat dengan berat molekul tinggi, misalnya sesium klorid (CsCl) 8M, DNA mempunyai kerapatan yang sama dengan larutan tersebut, yakni sekitar 1,7 g/cm3. Jika larutan ini disentrifugasi dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka garam CsCl yang pekat akan bermigrasi ke dasar tabung dengan membentuk gradien kerapatan. Begitu juga, sampel DNA akan bermigrasi menuju posisi gradien yang sesuai dengan kerapatannya. Teknik ini dikenal sebagai sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan (equilibrium density gradient centrifugation) atau sentrifugasi isopiknik.
Oleh karena dengan teknik sentrifugasi tersebut pelet RNA akan berada di dasar tabung dan protein akan mengapung, maka DNA dapat dimurnikan baik dari RNA maupun dari protein. Selain itu, teknik tersebut juga berguna untuk keperluan analisis DNA karena kerapatan apung DNA (ρ) merupakan fungsi linier bagi kandungan GC-nya. Dalam hal ini, ρ = 1,66 + 0,098% (G + C).

2.4 Nukleosida dan Nukleotida
Penomoran posisi atom C pada cincin gula dilakukan menggunakan tanda aksen (1’, 2’, dan seterusnya), sekedar untuk membedakannya dengan penomoran posisi pada cincin basa. Posisi 1’ pada gula akan berikatan dengan posisi 9 (N-9) pada basa purin atau posisi 1 (N-1) pada basa pirimidin melalui ikatan glikosidik atau glikosilik. Kompleks gula-basa ini dinamakan nukleosida. Di atas telah disinggung bahwa asam nukleat tersusun dari monomer-monomer berupa nukleotida, yang masing-masing terdiri atas sebuah gugus fosfat, sebuah gula pentosa, dan sebuah basa N. Dengan demikian, setiap nukleotida pada asam nukleat dapat dilihat sebagai nukleosida monofosfat.Namun, pengertian nukleotida secara umum sebenarnya adalah nukleosida dengan sebuah atau lebih gugus fosfat. Sebagai contoh, molekul ATP (adenosin trifosfat) adalah nukleotida yang merupakan nukleosida dengan tiga gugus fosfat.
Jika gula pentosanya adalah ribosa seperti halnya pada RNA, maka nukleosidanya dapat berupa adenosin, guanosin, dan uridinsitidin. Begitu pula, nukleotidanya akan ada empat macam, yaitu adenosin monofosfat, guanosin monofosfat, sitidin monofosfat, dan uridin monofosfat. Sementara itu, jika gula pentosanya adalah deoksiribosa seperti halnya pada DNA, maka (2’-deoksiribo)nukleosidanya terdiri atas deoksiadenosin, deoksiguanosin, deoksisitidin, dan deoksitimidin.
Hampir semua organisme mampu mensintesis nukleotida dari prekursor yang lebih sederhana, jalur de novo untuk nukleotida, mirip untuk setiap organisme.Nukleotida juga dapat disintesis dari hasil pemecahan nukleotida yang telah ada salvage pathway (recycle) yaitu dari degradasi pirimidin dan purin dari sel yang mati (regenerasi) atau dari makanan.

2.5 Degradasi Nukleotida
Di dalam usus halus terjadi pemutusan ikatan fosfodiester oleh endonuklease (pankreas) à oligonukleotida.Dipecah lebih lanjut dengan fosfodiesterase (ensim exonuclease non spesifik) menjadi monofosfat. Dipecah lebih lanjut fosfomonoesterase dikenal sebagai nukleotidase àmenghasilkan nukleosida and orthophosphate. Nucleosida phosphorylaseà menghasilkan basa dan and ribose-1-phosphate.Jika basa atau nukleosida tidak digunakan kembali untuk salvage pathways, basa akan lebih lanjut didegradasi menjadi asam urat (purin), ureidopropionat(pyrimidine).









BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Asam nukleat adalah makromolekul biokimia yang kompleks, berbobot molekul tinggi.
2. Peran penting RNA terletak pada fungsinya sebagai perantara antara DNA dan protein dalam proses ekspresi genetik karena ini berlaku untuk semua organisme hidup.
3. Jika gula pentosanya adalah ribosa seperti halnya pada RNA, maka nukleosidanya dapat berupa adenosin, guanosin, dan uridin sitidin.
4. Antara ketiga komponen monomer asam nukleat tersebut di atas, hanya basa N-lah yang memungkinkan terjadinya variasi.
5. Peran penting RNA terletak pada fungsinya sebagai perantara antara DNA dan protein dalam proses ekspresi genetik karena ini berlaku untuk semua organisme hidup. Dalam peran ini, RNA diproduksi sebagai salinan kode urutan basa nitrogen DNA dalam proses transkripsi.
6. Perbedaan struktur lainnya antara DNA dan RNA adalah pada basa N-nya. Basa N, baik pada DNA maupun pada RNA, mempunyai struktur berupa cincin aromatik heterosiklik (mengandung C dan N) dan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu purin dan pirimidin.
7. Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam organisme, termasuk yang terjadi di tingkat selular.

3.2Saran
Mahasiswa di harapkan untuk mengetahui lebih jauh tentangmacam-macam metabolisme dalam tubuh salah satunya yaitu metabolisme asam nukleat.

MAKALAH FISKES "Pengertian EEG (ELEKTROENSEFALOGRAM)"

KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat dan rahmat-Nya serta hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul EEG (ELEKTROENSEFALOGRAM).
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fisika Kesehatan. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga kebaikan yang telah diberikan dapat menjadi amal soleh dan ibadah bagi kita semua dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin.




Serang, 10 April 2012


Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang…………...………………………...………………………1
1.2 Tujuan……………...………………………………………………………......2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian EEG (ELEKTROENSEFALOGRAM)…………………………
2.2 DukunganBidan dalam Pemberian ASI………………...……..………………………….5
2.3 Proses Laktasi…………...…………………………………………………………………9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………...……………………………………………………………………..31
3.2 Saran…………………...…………………………………………………………………31
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fisiologi/Patofisiologi Aktivitas listrik merupakan salah satu karakteristik dari semua sel hidup, termasuk sel-sel saraf. Walaupun demikian, tidak keseluruhan sel saraf yang berjumlah 2,6 x 109 itu dianggap menyebabkan gelombang-gelombang listrik di permukaan sebagaimana terekam dengan EEG. Jadi yang dapat mengakibatkan gelombang-gelombang EEG adalah sel-sel saraf di korteks, walaupun diketahui juga bahwa struktur-struktur subkortikal, seperti talamus dan formatio retikularis mempunyai pengaruh yang kuat terhadap gelombang-gelombang kortikal itu. Dari ketiga jenis bentuk sel-sel kortikal (spindle, stellatum dan piramidal), sel-sel piramidallah yang dianggap merupakan sumber potensial listrik dari gelombang-gelombang permukaan. Dari berbagai penyelidikan disimpulkan bahwa terdapat bukti kuat yang menyarankan bahwa gelombang-gelombang permukaan itu merupakan penjumlahan (summation) daripada potensial listrik pascasinaptik, baik yang bersifat inhibisi atau eksitasi, yang berasal dari soma dan dendrit-dendrit besar sel piramidal. Potensial listrik pascasinaptik itu timbul akibat aktifitas neurotransmiter yang dilepaskan oleh ujung presinaptik, yang melepaskannya setelah menerima tanda-tanda listrik dari hubungan-hubungannya.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui metabolisme otak atau mengamati bagian-bagian otak



BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian EEG (ELEKTROENSEFALOGRAM)
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006).
Sedangkan menurut dr. Darmo Sugondo membedakan antara Electroencephalogram dan Electroencephalografi.
Electroencephalografi adalah prosedur pencatatan aktifitas listrik otak dengan alat pencatatan yang peka sedangkan grafik yang dihasilkannya disebut Electroencephalogram. Jadi, Aktivitas otak berupa gelombang listrik, yang dapat direkam melalui kulit kepala disebut Elektro-Ensefalografi (EEG).
Amplitudo dan frekuensi EEG bervariasi, tergantung pada tempat perekaman dan aktivitas otak saat perekaman. Saat subyek santai, mata tertutup, gambaran EEG nya menunjukkan aktivitas sedang dengan gelombang sinkron 8-14 siklus/detik, disebut gelombang alfa. Gelombang alfa dapat direkam dengan baik pada area visual di daerah oksipital.
Gelombang alfa yang sinkron dan teratur akan hilang, kalau subyek membuka matanya yang tertutup. Gelombang yang terjadi adalah gelombang beta (> 14 siklus/detik). Gelombang beta direkam dengan baik di regio frontal, merupakan tanda bahwa orang terjaga, waspada dan terjadi aktivitas mental. Meski gelombang EEG berasal dari kortek, modulasinya dipengaruhi oleh formasio retikularis di subkortek. Formasio retikularis terletak di substansi abu otak dari daerah medulla sampai midbrain dan talamus. Neuron formasio retikularis menunjukkan hubungan yang menyebar. Perangsangan formasio retikularis midbrain membangkitkan gelombang beta, individu seperti dalam keadaan bangun dan terjaga. Lesi pada formasio retikularis midbrain mengakibatkan orang dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta. Jadi formasio retikularis midbrain merangsang ARAS (Ascending Reticular Activating System), suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian area di forebrain. Nuklei reticular thalamus juga masuk dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus kesemua area di kortek serebri.ARAS mempunyai proyeksi non spesifik dengan depolarisasi global di kortek, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik dari thalamus yang mempunyai efek eksitasi kortek secara khusus untuk tempat tertentu. Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal sensori spesifik dari thalamus. Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke kortek, sinyal sensorik dari serabut sensori aferen menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral akson. Jika sistem aferen terangsang seluruhnya (suara keras, mandi air dingin), proyeksi ARAS memicu aktivasi kortikal umum dan terjaga.
EEG (Electroencephalogram) dilakukan untuk (Jan Nissl, 2006)
• Mendiagnosa dan mengklasifikasikan Epilepsi.
• Mendiagnosa dan lokalisasi tumor otak, Infeksi otak, perdarahan otak, Parkinson.
• Mendiagnosa Lesi desak ruang lainMendiagnosa Cedera kepala.
• Periode keadaan pingsan atau dementia.
• Narcolepsy.
• Memonitor aktivitas otak saat seseorang sedang menerima anesthesia umum selama perawatan.
• Mengetahui kelainan metabolik dan elektrolit B.
Fisiologi/Patofisiologi Aktivitas listrik merupakan salah satu karakteristik dari semua sel hidup, termasuk sel-sel saraf. Walaupun demikian, tidak keseluruhan sel saraf yang berjumlah 2,6 x 109 itu dianggap menyebabkan gelombang-gelombang listrik di permukaan sebagaimana terekam dengan EEG. Jadi yang dapat mengakibatkan gelombang-gelombang EEG adalah sel-sel saraf di korteks, walaupun diketahui juga bahwa struktur-struktur subkortikal, seperti talamus dan formatio retikularis mempunyai pengaruh yang kuat terhadap gelombang-gelombang kortikal itu. Dari ketiga jenis bentuk sel-sel kortikal (spindle, stellatum dan piramidal), sel-sel piramidallah yang dianggap merupakan sumber potensial listrik dari gelombang-gelombang permukaan. Dari berbagai penyelidikan disimpulkan bahwa terdapat bukti kuat yang menyarankan bahwa gelombang-gelombang permukaan itu merupakan penjumlahan (summation) daripada potensial listrik pascasinaptik, baik yang bersifat inhibisi atau eksitasi, yang berasal dari soma dan dendrit-dendrit besar sel piramidal. Potensial listrik pascasinaptik itu timbul akibat aktifitas neurotransmiter yang dilepaskan oleh ujung presinaptik, yang melepaskannya setelah menerima tanda-tanda listrik dari hubungan-hubungannya.
Acetilkholin dianggap sebagai transmiter eksitasi yang penting, dan GABA sebagai transmiter inhibisi yang terpenting di otak.Ujung-ujung presinaptik menerima lepas muatan listrik dari sel-sel di thalamus. Menurut penyelidikan bahwa inti-inti nonspesifik di talamus merupakan the probable pacemaker dari pada potensial listrik sel-sel pyramidal. Lepas muatan yang timbul pada soma dan dendrit-dendrit besar itu kemudian melalui cairan dan jaringan tubuh sampai pada elektroda-elektroda EEG.
Dengan demikian jelaslah bahwa rekaman yang dihasilkan oleh electrode kulit kepala merupakan contoh dari pada aktivitas dekat permukaan, yang tentunya telah banyak mengalami pelemahan, penyebaran, dan penyimpangan dalam perjalanannya yang melalui cairan jaringan, jaringan otak, cairan serebrospinal, tulang tengkorak dan kulit kepala itu.
Gambaran EEG Normal Gb. EEG dari atas kebawah : alfa, beta, teta, delta (sumber : Louis, 2006).
Salah satu penemuan Hans Berger adalah bahwa kebanyakan EEG orang dewasa normal mempunyai irama dominant dengan frekuensi 10 siklus per detik, yang di sebutnya sebagai irama alfa.
Pada umumnya kini yang dimaksud dengan irama alfa adalah irama dengan frekuensi antara 8-13 spd, yang paling jelas terlihat di daerah parieto-oksipital, dengan voltase 10-150 mikrovolt, berbentuk sinusoid, relative sinkron dan simetris antara kedua hemisfer. Suatu asimetri ringan dalam voltase adalah normal, mengingat adanya dominasi hemisfer. Pada umumnya suatu perbedaan voltase 2 : 3 adalah dalam batas-batas normal, asalkan voltase yang lebih tinggi terlihat pada hemisfer non dominant.
Yang lebih penting maknanya adalah bila terdapat perbedaan frekwensi antara kedua hemisfer. Suatu perbedaan frekuensi yang konsisten dari 1 spd atau lebih antara kedua hemisfer mungkin sekali diakibatkan suatu proses patologis di sisi dengan frekuensi yang lebih rendah.Irama alfa terlihat pada rekaman individu dalam keadaan sadar dan istirahat serta mata tertutup. Pada keadaan mata terbuka irama alfa akan menghilang, irama yang terlihat adalah irama lamda yang paling jelas terlihat bila individu secara aktif memusatkan pandangannya pada suatu yang menarik perhatiannya. Ditinjau dari irama alfanya dapat dibedakan tiga golongan manusia, sekelompok kecil yang memperlihatkan sedikit sekali atau tidak mempunyai irama alfa, sekelompok kecil lagi yang tetap memperlihatkan irama alfa walaupun kedua mata dibuka, dan diantara kedua ekstrem ini terletak sebagian besar manusia yang menunjukkan penghilangan irama alfa ketika membuka mata.
Berturut-berturut ketiga kelompok ini disebut sebagai kelompok alfa M (minimal atau minus), alfa P (persisten), alfa R (responsive).Suatu irama yang lebih cepat dari irama alfa ialah irama beta yang mempunyai frekuensi di atas 14 spd, dapat ditemukan pada hamper semua orang dewasa normal. Biasanya amplitudonya daopat mencapai 25 mikrovolt, tetapi pada keadaan tertentu bisa lebih tinggi. Pada keadaan normal terlihat terutama di daerah frontal atau presentral.Irama yang lebih lambat dari irama alfa adalah tidak jarang pula ditemukan pada orang dewasa normal. Irama teta mempunyai frekuensi antara 4-7 spd. Suatu irama yang lebih pelan dari teta disebut irama delta adalah selalu abnormal bila didapatkan pada rekaman bangun, tetapi merupakan komponen yang normal pada rekaman tidur. Frekuensi irama delta ialah ½-3 spd.Berbagai keadaan dapat mempengaruhi gambaran EEG.
Perhatian cenderung untuk menghapuskan irama alfa, merendahkan voltase secara umum dan mempercepat frekuensi. Termasuk perhatian ini adalah usaha introspeksi dan kerja mental (misalnya berhitung). Demikian pula setiap stimulus visual, auditorik dan olfaktorik akan merendahkan amplitudo dan menimbulkan ketidak teraturan irama alfa. Penurunan kadar O2 dan atau CO2 darah cenderung menimbulkan perlambatan, sebaliknya peninggian kadar CO2 menimbulkan irama yang cepat. Faktor usia juga mempunyai pengaruh penting pula dalam EEG. Rekaman dewasa sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dicapai pada usia 20-40 tahun. Rekaman neonatus berusia di bawah satu bulan memperlihatkan amplitude yang rendah dengan irama delta atau teta. Antara usia 1-12 bulan terlihat peninggian voltase, walaupun irama masih tetap delta atau teta. Antara 1-5 tahun terlihat amplitudo yang tinggi, irama teta yang meningkat dan mulai terlihat irama alfa, sedangkan irama delta mengurang. Antara 6-10 tahun amplitude menjadi sedang, irama alfa menjadi lebih banyak, teta berkurang, delta berkurang sampai hilang. Antara 11-20 tahun voltase terlihat sedang sampai tinggi, dominsi alfa mulai jelas, teta minimal, delta kadang-kadang masih terlihat di daerah belakang. Di atas 40 tahun mulai lagi terlihat gelombang lambat 4-7 spd di daerah temporal dan di atas 60 tahun rekaman kembali melambat seperti rekaman anak-anak.
Perubahan tahap-tahap tidur berpengaruh besar pula terhadap rekaman EEG. Dalam keadaan mengantuk terlihat pengurangan voltase dan timbul sedikit perlambatan. Pada keadaan tidur sangat ringan dapat terlihat adanya gelombang-gelombang mirip paku bervoltase tinggi, bifasik dengan frekuensi 3-8 spd, simetris dan terjelas di daerah parietal (parietal humps). Gambaran ini paling jelas pada usia 3-9 tahun dan terus terlihat sampai usia 40 tahun. Pada keadaan tidur ringan terdapat (sleep spndle) terdapat gelombang tajam berfrekuensi 12-14 spd yang sifatnya simetris. Pada keadaan tidur sedang sampai dalam rekaman didominir oleh gelombnag-gelombang lambat tak teratur dengan frekuensi ½ - 3 spd.Gambaran EEG AbnormalEEG sampai saat ini masih digolong-golongkan atas dasar hubungan frekuensi-voltase, dengan frekuensi sebagai parameter utama. Berbagai penyelidikan mengungkapkan bahwa tidak semua individu normal memperlihatkan EEG yang normal dan sebaliknya tidak semua abnormalitas dalam EEG berarti ada abnormalitas pada individu yang bersangkutan. EEG abnormal disebut spesifik bila gelombang yang timbul mempunyai gambaran yang khas dan berkorelasi tinggi dengan kelainan klinik tertentu, disebut nonspesifik (aspesifik) bila gelombangnya tidak khas dan dapat ditimbulkan oleh banyak kelainan-kelainan neurologik atau sistemik.
Di bawah ini akan dijelaskan beberapa hasil pemeriksaan EEG yang penting dari kelainan-kelainan neurologik, yaitu :
1. EEG pada penyakit konvulsif EEG paling banyak digunakan untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan epilepsy.
Paroksismal merupakan pemunculan yang episodic dan mendadak suatu gelombang atau kelompok gelombang yang secara kwantitatif dan kwalitatif berbeda dengan gambaran irama dasarnya. Tipe aktivitas paroksismal yang timbul ketika serangan, sampai derajat tertentu mempunyai korelasi dengan tipe klinis. Petit mal dalam serangan ditandai oleh aktivitas spike and wave dengan frekuensi 3 spd, menyeluruh disemua saluran, bersifat sinkron dan simetris dengan voltase yang tinggi yang dapat mencapai 1000 mikrovolt. Grand mal dalam serangan sangat sulit direkam karena terganggu oleh gerakan-gerakan motorik individu; gambaran kejangnya adalah berupa aktivitas cepat yang menyeluruh bervoltase tinggi berbentuk polyspike dengan frekuensi 8-12 spd, diselingi gelombang-gelombang lambat dari 1,5-3 spd.
Epilepsi psikomotor ditandai oleh aktivitas spike didaerah temporal depan.Kebanyakan rekaman penderita epilepsy merupakan rekaman di luar serangan (interictal), yang tidak jarang tidak memperlihatkan abnormalitas, walaupun klinis jelas merupakan suatu epilepsy. Karenanya usaha-usaha provokatif dipergunakan untuk merangsang timbulnya aktivitas EEG abnormal yang tak terlihat secara spontan. Keadaan tidur (alamiah maupun akibat induksi obat) mengaktifkan paroksismalitas yang umum maupun fokal. Dalam keadaan tidak tidur hanya kira-kira sepertiga individu dengan diagnosa klinik epilepsy memperlihatkan paroksismalitas spesifik, 15 % memperlihatkan EEG yang normal dan sisanya memperlihatkan perlambatan atau percepatan yang spesifik. Dalam keadaan tidur gambaran serangan dua kali lebih sering terlihat, terutama untuk epilepsy psikomotor. Hiperventilasi paling efektif dalam mengaktifkan gelombang-gelombang serangan petit mal; kadang-kadang hiperventilasi dapat mengaktifkan abnormalitas yang bersifat fokal atau menimbulkan gambaran kejang yang partial. Stimulasi fotik dapat menimbulkan paroksismalitas menyeluruh berupa kompleks spike and wave yang disebut “photoparoxysmal response”. Korelasi gambaran rekaman diluar serangan adalah tertinggi untuk petit-mal (90%), kemudian tipe psikomotor dan pada tipe grand-mal korelasinya adlah tidak begitu tinggi. Jadi jelaslah tidak adanya gambaran epileptiform dalam rekaman tunggal tidaklah menyingkirkan kemungkinan penyakit konvulsif.
2. EEG pada tumor intracranial Pentingnya pemeriksaan EEG pada tumor otak ditegaskan oleh Walter, yang menyebutkan irama lambat berfrekuensi kurang dari 4 spd (irama delta).
Irama delta ini umumnya terlihat fokal, karenanya dapat dipakai untuk menetukan lokalisasi tumor. Jaringan otak sendiri tidak memberikan lepas muatan listrik, gelombang-gelombang lambat yang dicatat oleh EEG berasal dari neuron-neuron disekitar tumor atau ditempat lain yang fungsinya terganggu secara langsung atau tidak langsung. Tomor otak tidak memberikan gambaran yang spesifik, kiranya rekaman serial adalah lebih bernilai dari pada rekaman tunggal.Tomor infra tentorial memberikan gambaran EEG yang berbeda dengan tomor supra tentorial. Gambaran karakteristik tumor infra tentorial adalah berupa perlambatan sinusoidal yang ritmik berfrekuensi 2-3 spd atau 4-7 spd, dapat bersifat terus menerus ataupun paroksismal.Berbeda dengan tomor infra tentorial, tumor supra tentorial pada umumnya memberikan gambaran yang bersifat fokal teta maupun delta, sehingga penentuan lokalisasi lebih dimungkinkan. Kadang-kadang dapat pula ditemui gambar spike atau gelombang tajam yang fokal.Suatu ketentuan yang banyak dianut tentang tumor otak mengatakan bahwa suatu EEG yang normal menyingkirkan sebesar 97% tumor kortikal dan sebesar 90% tumor otak pada umumnya.
3. EEG pada lesi desak ruang lain Secara EEG, abses otak memberikan gambaran yang sama dengan tumor : 90-95% memperlihatkan aktivitas teta atau delta yang menyeluruh dengan fokus frekuensi terendah diatas daerah abses.
Fokus perlambatan ini sering kali sangat rendah sampai 0,3 spd dan bervoltase sangat tinggi sampai 500 mikrovolt.Subdural hematom yang kronik 90% memperlihatkan EEG yang abnormal, sehingga penemuan EEG yang normal menyingkirkan kemungkinan hematom secara cukup kuat.
4. EEG pada rudapaksa kepala EEG berkorelasi dengan hebat dan luasnya rudapaksa kepala. Commotio cerebri EEG umunya normal.
Memar otak akut meperlihatkan penurunan voltase yang diffuse, diikuti pembentukan aktivitas delta bervoltase rendah yang menyeluruh. Pada area kontusi aktivitas cepat ditekan dan seringkali ditemui asimetri dalam amplitude irama alfa. Setelah fase akut aktivitas delta relative akan terlokalisir di daerah kontusi. Setelah kira-kira 2 minggu terlihat peninggian frekuensi dan penurunan voltase dari fokus delta tersebut. Dapat dilihat pula fokus spike di daerah kontusi. Pada masa penyembuhan hiperventilasi akan menimbulkan perlambatan umum sampai 30 hari setelah trauma.
5. EEG pada infeksi otak Meningitis akut memberikan abnormalitas perlambatan yang difus berupa irama delta, baik pada bentuk purulent maupun serosa. Biasanya kelainan EEG berkaitan erat dengan tingkat kesadaran individu. Suatu perlambatan fokal yang timbul pada rekaman ulangan individu dengan meningitis mungkin sekali menandakan pembentukan abses.Ensefalitis memberikan perlamabatn umum, biasanya dengan frekuensi yang lebih rendah dari meningitis. Dapat pula terlihat fokus perlambatan dan gelombang tajam.
6. EEG pada kelainan metabolik dan elektrolit Hipoglikemia (<50 Electroencephalogram (EEG). 2.2 Kegunaan EEG : • Pasien yang mengalami kejang atau yang diduga mengalami kejang. • Mengevaluasi efek serebral dari berbagai penyakit sistemik (misalnya keadaan ensefalopati metabolik karena diabetes, gagal ginjal). • Melakukan studi untuk mengetahui gangguan tidur (sleep disorder) atau narkolepsi. • Membantu menegakkan diagnosa koma. • Melokalisir perubahan potensial listrik otak yang disebabkan trauma, tumor, gangguan pembuluh darah (vaskular) dan penyakit degeneratif. • Membantu mencari berbagai gangguan serebral yang dapat menyebabkan nyeri kepala, gangguan perilaku dan kemunduran intelektual. 2.3 Prinsip Kerja Semacam topi akan dipakaikan di kepala dan didalam topi tersebut terdapat konduktor yang merupakan sensor yang terhubung dengan alat pencatat aktivitas gelombang otak. Sensor tersebut memiliki jumlah yang bermacam-macam tergantung kebutuhan semakin banyak sensor yang dipakai maka kepekaan pencatatan gelombang otak akan semakin naik. Proses ini biasanya berlangsung antara 15 menit. Kemudian untuk pengukuran dan pencatatan aktivitas gelombang otak normalnya berlangsung antar 10-30 menit. Setiap klien harus mengikuti instruksi dari terapis jika terapis menyuruh membuka atau menutup mata. Terapis juga akan memberikan instruksi kepada klien untuk melakukan aktivitas mental seperti membaca atau mengerjakan soal matematika yang sederhana. Hal ini menjadi sangat penting selama proses pengukuran. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Electroencephalografi adalah prosedur pencatatan aktifitas listrik otak dengan alat pencatatan yang peka sedangkan grafik yang dihasilkannya disebut Electroencephalogram. Jadi, Aktivitas otak berupa gelombang listrik, yang dapat direkam melalui kulit kepala disebut Elektro-Ensefalografi (EEG). Amplitudo dan frekuensi EEG bervariasi, tergantung pada tempat perekaman dan aktivitas otak saat perekaman. Saat subyek santai, mata tertutup, gambaran EEG nya menunjukkan aktivitas sedang dengan gelombang sinkron 8-14 siklus/detik, disebut gelombang alfa. Gelombang alfa dapat direkam dengan baik pada area visual di daerah oksipital. Gelombang alfa yang sinkron dan teratur akan hilang, kalau subyek membuka matanya yang tertutup. Gelombang yang terjadi adalah gelombang beta (> 14 siklus/detik). Gelombang beta direkam dengan baik di regio frontal, merupakan tanda bahwa orang terjaga, waspada dan terjadi aktivitas mental. Meski gelombang EEG berasal dari kortek, modulasinya dipengaruhi oleh formasio retikularis di subkortek.
Keadaan tidur (alamiah maupun akibat induksi obat) mengaktifkan paroksismalitas yang umum maupun fokal. Dalam keadaan tidak tidur hanya kira-kira sepertiga individu dengan diagnosa klinik epilepsy memperlihatkan paroksismalitas spesifik, 15 % memperlihatkan EEG yang normal dan sisanya memperlihatkan perlambatan atau percepatan yang spesifik.



3.2 Saran
Mahasiswa di harapkan untuk mengetahui lebih jauh tentang metabolisme otak atau mengamati bagian-bagian otak.


DAFTAR PUSTAKA
http://www.webmd.com/hw/epilepsy/aa22249.asp Louis, S (2006). EEG COURSE and GLOSSARY.
http://www.brown.edu/Departments/Clinical_Neurosciences/louis/eegcrs.html St. John's Mercy Health Care (2006).
Tests & Procedures Electroencephalogram (EEG) Diambil pada 17 Pebruari 2006 dari http://www.stjohnsmercy.org/contact/default.as